Halaman Baru

Sabtu, 27 Februari 2010


SEJARAH KOTA PASURUAN

PASURUAN adalah kota Bandar kuno. Pada jaman Kerajaan Airlangga, Pasuruan sudah dikenal dengan sebutan " Paravan " . Pada masa lalu, daerah ini merupakan pelabuhan yang sangat ramai. Letak geografisnya yang strategis menjadikan Pasuruan sebagai pelabuhan transit dan pasar perdagangan antar pulau serta antar negara. Banyak bangsawan dan saudagar kaya yang menetap di Pasuruan untuk melakukan perdagangan. Hal ini membuat kemajemukan bangsa dan suku bangsa di Pasuruan terjalin dengan baik dan damai.
Pasuruan yang dahulu disebut Gembong merupakan daerah yang cukup lama dikuasai oleh raja-raja Jawa Timur yang beragama Hindu. Pada dasa warsa pertama abad XVI yang menjadi raja di Gamda (Pasuruan) adalah Pate Supetak, yang dalam babad Pasuruan disebutkan sebagai pendiri ibukota Pasuruan.
Menurut kronik Jawa tentang penaklukan oleh Sultan Trenggono dari Demak, Pasuruan berhasil ditaklukan pada tahun 1545. Sejak saat itu Pasuruan menjadi kekuatan Islam yang penting di ujung timur Jawa. Pada tahun-tahun berikutnya terjadi perang dengan kerajaan Blambangan yang masih beragama Hindu-Budha. Pada tahun 1601 ibukota Blambangan dapat direbut oleh Pasuruan.
Pada tahun 1617-1645 yang berkuasa di Pasuruan adalah seorang Tumenggung dari Kapulungan yakni Kiai Gede Kapoeloengan yang bergelar Kiai Gedee Dermoyudho I. Berikutnya Pasuruan mendapat serangan dari Kertosuro sehingga Pasuruan jatuh dan Kiai Gedee Kapoeloengan melarikan diri ke Surabaya hingga meninggal dunia dan dimakamkan di Pemakaman Bibis (Surabaya).
Selanjutnya yang menjadi raja adalah putra Kiai Gedee Dermoyudho I yang bergelar Kiai Gedee Dermoyudho II (1645-1657). Pada tahun 1657 Kiai Gedee Dermoyudho II mendapat serangan dari Mas Pekik (Surabaya), sehingga Kiai Gedee Dermoyudho II meninggal dan dimakamkan di Kampung Dermoyudho, Kelurahan Purworejo Kota Pasuruan. Mas Pekik memerintah dengan gelar Kiai Dermoyudho (III) himgga meninggal dunia pada tahun 1671 dan diganti oleh putranya, Kiai Onggojoyo dari Surabaya (1671-1686).
Kiai Onggojoyo kemudian harus menyerahkan kekuasaanya kepada Untung Suropati. Untung Suropati adalah seorang budak belian yang berjuang menentang Belanda, pada saat itu Untung Suropati sedang berada di Mataram setelah berhasil membunuh Kapten Tack. Untuk menghindari kecurigaan Belanda, pada tanggal 8 Februari 1686 Pangeran Nerangkusuma yang telah mendapat restu dari Amangkurat I (Mataram) memerintahkan Untung Suropati berangkat ke Pasuruan untuk menjadi adipati (raja) dengan menguasai daerah Pasuruan dan sekitarnya.
Untung Suropati menjadi raja di Pasuruan dengan gelar Raden Adipati Wironegoro. Selama 20 tahun pemerintahan Suropati (1686-1706) dipenuhi dengan pertempuran-pertempuran melawan tentara Kompeni Belanda. Namun demikian dia masih sempat menjalankan pemerintahan dengan baik serta senantiasa membangkitkan semangat juang pada rakyatnya.
Pemerintah Belanda terus berusaha menumpas perjuangan Untung Suropati, setelah beberapa kali mengalami kegagalan. Belanda kemudian bekerja sama dengan putra Kiai Onggojoyo yang juga bernama Onggojoyo untuk menyerang Untung Suropati. Mendapat serangan dari Onggojoyo yang dibantu oleh tentara Belanda, Untung Suropati terdesak dan mengalami luka berat hingga meninggal dunia (1706). Belum diketahui secara pasti dimana letak makam Untung Suropati, namun dapat ditemui sebuah petilasan berupa gua tempat persembunyiannya pada saat dikejar oleh tentara Belanda di Pedukuhan Mancilan Kota Pasuruan.
Sepeninggal Untung Suropati kendali kerajaan dilanjutkan oleh putranya yang bernama Rakhmad yang meneruskan perjuangan sampai ke timur dan akhirnya gugur di medan pertempuran (1707).
Onggojoyo yang bergelar Dermoyudho (IV) kemudian menjadi Adipati Pasuruan (1707). Setelah beberapa kali berganti pimpinan pada tahun 1743 Pasuruan dikuasai oleh Raden Ario Wironegoro. Pada saat Raden Ario Wironegoro menjadi Adipati di Pasuruan yang menjadi patihnya adalah Kiai Ngabai Wongsonegoro.
Suatu ketika Belanda berhasil membujuk Patih Kiai Ngabai Wongsonegoro untuk menggulingkan pemerintahan Raden Ario Wironegoro. Raden Ario dapat meloloskan diri dan melarikan diri ke Malang. Sejak saat itu seluruh kekuasaan di Pasuruan dipegang oleh Belanda. Belanda menganggap Pasuruan sebagai kota bandar yang cukup penting sehingga menjadikannya sebagai ibukota karesidenan dengan wilayah: Kabupaten Malang, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Bangil.
Karena jasanya terhadap Belanda, Kiai Ngabai Wongsonegoro diangkat menjadi Bupati Pasuruan dengan gelar Tumenggung Nitinegoro. Kiai Ngabai Wongsonegoro juga diberi hadiah seorang putri dari selir Kanjeng Susuhunan Pakubuono II dari Kertosuro yang bernama Raden Ayu Berie yang merupakan keturunan dari Sunan Ampel Surabaya. Pada saat dihadiahkan Raden Ayu Berie dalam keadaan hamil, dia kemudian melahirkan seorang bayi laki-laki yang bernama Raden Groedo. Saat Kiai Ngabai Wongsonegoro meninggal dunia, Raden Groedo yang masih berusia 11 tahun menggantikan kedudukannya menjadi Bupati Pasuruan dengan gelar Kiai Adipati Nitiadiningrat (Berdasarkan Resolusi tanggal 27 Juli 1751).
Adipati Nitiadiningrat menjadi Bupati di Pasuruan selama 48 tahun (hingga 8 November 1799). Adipati Nitiadiningrat (I) dikenal sebagai Bupati yang cakap, teguh pendirian, setia kepada rakyatnya, namun pandai mengambil hati Pemerintah Belanda. Karya besarnya antara lain mendirikan Masjid Agung Al Anwar bersama-sama Kiai Hasan Sanusi (Mbah Slagah).
Raden Beji Notokoesoemo menjadi bupati menggantikan ayahnya sesuai Besluit tanggal 28 Februari 1800 dengan gelar Toemenggoeng Nitiadiningrat II. Pada tahun 1809 Toemenggoeng Nitiadiningrat II digantikan oleh putranya yakni Raden Pandjie Brongtokoesoemo dengan gelar Raden Adipati Nitiadiningrat III. Raden Adipati Nitiadiningrat III meninggal pada tanggal 30 Januari 1833 dimakamkan di belakang Masjid Al Anwar. Penggantinya adalah Raden Amoen Raden Tumenggung Ario Notokoesoemo dengan gelar Raden Tumenggung Ario Nitiadiningrat IV yang meninggal dunia tanggal 20 Juli 1887. Kiai Nitiadiningrat I sampai Kiai Nitiadiningrat IV lebih dikenal oleh masyarakat Pasuruan dengan sebutan Mbah Surga-Surgi.
Pemerintahan Pasuruan sudah ada sejak Kiai Dermoyudho I hingga dibentuknya Residensi Pasuruan pada tanggal 1 Januari 1901. Sedangkan Kotapraja (Gementee) Pasuruan terbentuk berdasarkan Staatblat 1918 No.320 dengan nama Stads Gemeente Van Pasoeroean pada tanggal 20 Juni 1918.
Sejak tanggal 14 Agustus 1950 dinyatakan Kotamadya Pasuruan sebagai daerah otonom yang terdiri dari desa dalam 1 kecamatan. Pada tanggal 21 Desember 1982 Kotamadya Pasuruan diperluas menjadi 3 kecamatan dengan 19 kelurahan dan 15 desa. Pada tanggal 12 Januari 2002 terjadi perubahan status desa menjadi kelurahan berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 2002, dengan demikian wilayah Kota Pasuruan terbagi menjadi 34 kelurahan. Berdasarkan UU no.22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah terjadi perubahan nama dari kotamadya menjadi kota maka Kotamadya Pasuruan berubah menjadi Kota Pasuruan.


SEJARAH BANYUBIRU PASURUAN

Sejarah Pemandian Alam Banyu Biru (Telaga Wilis) Pasuruan
Para pedagang yang datang dari semenanjung Arab banyak menimbulkan perubahan dan peradaban baru di tanah air kita khususnya kerajaan Majapahit pada waktu itu. Agama islam yang di bawanya serta cepat sekali meresab dalam hati rakyat terutama rakyat kecil yang pada mulanya selalu hidup dalam lingkungan kasta dan perbedaan sesial lainnya. Pelan tapi pasti kerajaan Majapahit yang dulu di bangun dengan menelan korban harta dan jiwa mulai memudar cahayanya.
Selain disebabkan oleh pengaruh agama islam terdapat pula factor lain yang mempercepat keruntuhan yaitu terpecah belahnyapersatuan diantara pemimpin oleh seorang perwira Majapahit yang telah memeluk agama Islam yaitu Raden Patah lambat laun menampakkan kewibaannya.
Majapahit hancur berantakan, sebagian besar rakyatnya ikut memeluk agama
nenek moyangnya. Mereka banyak yang melarikan diri kedaerah lain. Tempat
lainnya yang menjadi daerah pelariannya yaitu disebelah selatan kabupaten
Pasuruan, sekarang orang mengenalnya dengan daerah Tengger.
Diantara sekian banyak pelarian dari Majapahit itu terdapat dua orang bekas
prajurit Majapahit yang terdampar disebuah hutan yang sekarang lebih terkenal
dengan nama desa Sumberejo, kecamatan Winongan kabupaten Pasuruan. Dua
orang tersebut masing-masing bernama KEBUT dan TOMBRO.
Hutan itu mereka babat untuk di jadikan daerah pemukiman baru. Oleh
kerena pada saat itu banyak sekali tumbuhan pohon pinang maka daerah baru itu
lebih terkenal dengan nama Jambaan ( Jambe = pinang, jawa ). Sampai sekarang
nama jambaan masih ada dan menjadi salah satu pendukuhan desa Sumberejo.
Dua orang bekas prajurit itu hidup dengan tenang dan untuk makannya
sehari-hari mereka mengelola tanah. Selain hidup bertani Kebut juga membuka
bengkel pandai besi. Sejak dulu dia memang terkenal sebagai empu yang mahir
dalam membuat keris dan senjata tajam lainnya, barang peninggalannya yang berupa
paron masih dapat disaksikan dan terletak disebelah makamnya yang terdapat dalam
komplek pemandian Banyu Biru. Sedangkan tombro yang hanya bertani saja tapi
namanya lebih menonjol daripada kebut.
Pada suatu hari kerbau peliharaan Tombro dilepas dari kandangnya. Sebagai
mana kebiasaan setiap hari. Kedua ekor kerbau itu mencari makan sendiri tanpa
ditemani oleh tuannya maupun gembala yang seharusnya mengawasinya.

Begitulah kebiasaannya kalau kebetulan bintang-bintang itu tidak
dipekerjakan disawah. Sore harinya pulang kekandang yang berdiri di belakang
rumah pemiliknya. Tetapi pada hari itu ketika Tombro hendak menutup pintu
kandang ternyata tidak melihat batang hdung kerbau-kerbaunya. Bergegaslah dia
berangkat mencari ke hutan yangada disekitar desanya. Tidak begitu sulit
mencarinya sebab dia melacak berdasarkan telapak kaki kerbaunya. Ternyata kedua
ekor kerbau itu sedang asyik berkubang disebuah kolam kecil yang tidak pernah di
ketahuinya Tombro berteriak-teriak agar hewan-hewan peliharaannya itu bangkit
dan pulang kekandang .
Rupanya kerbau itu tidak bergerak sedikitpun dari tempatnya Tombro
mendekat dan Tombro agak terkejut sebab kerbau-kerbau itu ternyata telah
terperangkap dalam lumpur. Segera dipetiknya empat lembar daun keladi yang
banyak tumbuh di sekitarnya. Keempat daun itu dia hamparkan didepan kedua ekor
kerbau itu. Sekali lagi Tombro membentaknya tampak kedua ekor kerbau itu
bergerak dan ujung kakinya menggapai daun keladi lalu tiba-tiba bangkit dan keluar
dari kubungan. Hewan-hewan itu lari terbirit-birit pulang kekandangnya.
Sepeninggal hewan-hewan peliharaannya Tombro berdiri sejenak dipinggir
kolam kecil itu. Di pandangnya kolam itu dan kini dia tidak lagi menyaksikan
lumpur yang keruh tapi sebuah kolam yang penuh dengan air yang jernih
sehinggadasarnya yang berpasir itu kelihatan nyata. Bahkan disela-selah ranting
yang berada didasar kolam tampak dua ekor ikan sengkaring sedang asyik berenang
kian kemari. Menurut cerita dari masyarakat kedua ekor ikan itu lambat laun
berkembang biak hingga sekarang. Pengunjung pemandian yang kebetulan datang
dapat menyaksikan ikan-ikan itu, jumlahnya telah berlipat ganda dan berenang kian
kemari seolah-olah berlomba dengan para pengunjung pemandian yang sedang
mandi. Dari jernihnya air dasar pasir bebatuan sehingga airnya kelihatan biru.
Dengan ditemukannya kolam ajaib itu maka penduduk jambaan banya datang
menyaksikannya. Sejak itu para penduduk memeliharanya dengan baik. Dan kolam
tersebut dinamakan Banyu Biru.
Kabar tentang ditemukannya kolam aneh itu sempat didengar oleh Bupati
Pasuruan yang bernama Raden Adipati Nitiningrat. Bersama-sama seorang pembesar
belanda yang bernama P.W Hopla ( sesuai dengan prasasti yang tertulis dengan
huruf jawa ) kedua orang itu ikut pula menyaksikannya. Kolam itu kemudian
dibangun oleh pemerintah Belanda dengan nama Telaga Wilis. Telaga ini dibangun
terus oleh orang-orang belanda dijadikan pemandian umum. Untuk memperindah
pemandian ini dibuat taman-taman bunga dan dilegkapi dengan berjenis-jenis patung
yang diambil dari Singosari Malang.
Selain memelihara kerbau Tombro juga memelihara kera. Setelah wafat pak
Tombro dimakamkan didekat pemandian dan kera-kera itu berkembang biak hingga
beratus-ratus ekor.
Pada waktu pendudukan Jepang kera-kera itu habis ditembaki dan sisanya
menyingkir kehutan di dekat desa Umbulan yang terkenal dengan sumber air
minumnya.

Sedangkan cerita pak Kebut tidak banyak dibicarakan orang karena dia
hanya menekuni pekerjaannya sebagai pembuat alat pertanian. Dia dimakamkan
berjajar dengan makam istrinya yang bernama mbok Kipah. Dipinggir kolam renang
lama disebelah utara tiap hari Jum’at orang-orang Tosari banyak berziarah kemakam
tersebut. Menurut cerita penduduk setempat setiap ada orang yang berusaha
memindahkan paron yang berada didekat makamnya meka keesokan harinya paron
itu akan kembali ketempat asalnya.

Kira-kira pada tahun 1980 patung-patung yang banyak bersejarah ditaman
pemandian itu dikumpulkn disatu tempat dan dilindungi oleh seksi Kebudayaan

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pasuruan. Tempat itu berada
didalam kompleks pemandian yang sekarang lebih terkenal dengan nama Banyu
Biru .

Letak Geografis : Jarak dari kota kurang lebih 20 Km
Luas wilayah Banyu Biru kurang lebih 4 hektar
Wilayah desa Sumber Rejo
Kecamatan Winongan Kabupaten Pasuruan.
Kera – kera yang di pelihara oleh penemu Banyu Biru ( P. tombro ) berkembang biak hingga beratus – ratus ekor. Pada waktu pendudukan Jepang kera-kera itu habis ditembaki dan sisanya menyingkir kehutan di dekat desa Umbulan yang terkenal dengan sumber air minumnya.
Banyu Biru 1920
Prasasti – prasasti tersebut terdiri atas 11 buah patung antara

lain :

1. 1 volkaning dari pemda Kabupaten Pasuruan dengan bahasa Belanda bertahun 1921

2. 1 prasasti bahasa dan huruf jawa tahun 1847

3. 1 patung betara siwa dengan membawa senjata trisula

4. 1 patung ganesya

5. 1 patung 2 ekor naga berbelit dan lain – lainnya yang kami sendiri tak bisa
Terdapat prasasti tertulis diatas batu pualam dengan huruf jawa yang berbunyi :

Telaga Wilis

Rinenggo winangun arja, dening tuan pawalopean. Manulyo tusdhani prasamya
nalika, panjenengane Kanjeng Adipati Nitiadi Ningrat singkalan “ Wisayaning panditha kaloking nat ” . Utawi tahun – tahun Weladeni 1847
Ø Air yang ada di banyu Biru adalah air sumber dan ceritanya setiap hari Jum’at
legi orang yang mandi dan berendam disana akan awet muda dan mendatangkan
berkah.
Ø Pada hari raya ketupat bila datang ke Banyu Biru untuk menabur uang logam

ketelang ( bagian terdalam / tempat sumber ) dan segenggam ketupat serta

nyadran ( selamatan ) di makam raja kera dapat membuang sangkal atau

kesialan.